Dalam sebuah hadits, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah bersabda,
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir-hampir umat-umat yang ada saling menyeru untuk menyerbu kalian sebagaimana para penyantap makanan menyerbu nampan makanannya.”
Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, “Apakah dengan sebab jumlah kita yang sedikit waktu itu?”
Beliau menjawab, “Bahkan kalian pada waktu itu sangat banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih banjir. Dan sungguh Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kalian dari dada-dada musuh kalian, dan Allah akan menimpakan ke dalam hati kalian sikap wahn.”
Maka ada seorang sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan wahn?”
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
[Hadits riwayat Abu Daud, Kitab al-Malahim, Bab Fii Tada’il Umam ‘alal Islam, Dishahihkan oleh al-Albani, lihat Shahih al-Jami’ no. 8183, dan ash-Shahihah no. 958]
Wahn, cinta dunia takut mati, adalah suatu penyakit yang dikhawatirkan menimpa kaum muslimin dan akan menyebabkan kelemahan mereka. Dan tampaknya, penyakit ini telah banyak menggerogoti tubuh kaum muslimin pada masa kita sekarang. Hal ini susah kita pungkiri, karena kenyataan kaum muslimin sekarang sangat persis dengan apa yang digambarkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika menjelaskan penyakit wahn ini.
Kaum muslimin telah melemah, mereka telah menjadi santapan empuk bagi musuh-musuh Islam. Bukan karena mereka sedikit, bahkan jumlah mereka sangat banyak. Namun Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh-musuh Islam dan mencampakkan penyakit wahn ke dalam tubuh kaum muslimin.
Bahaya materialisme
Wahn, cinta dunia takut mati, adalah satu di antara berbagai pengaruh sikap dan pandangan materialis yang terdapat pada sebagian atau mungkin kebanyakan kaum muslimin. Hal ini tidak lain karena kelemahan akidah yang mereka miliki.
Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin, akan kita dapati banyak dari mereka yang menjadikan materi sebagai ukuran dalam menilai segala sesuatu. Pandangan mereka telah menyempit pada perkara-perkara yang bisa langsung mereka rasakan. Mereka lebih giat terhadap sesuatu yang tampak daripada sesuatu yang tak tampak (ghaib). Mereka lebih giat mencari materi yang bisa langsung mereka rasakan di dunia ini daripada mencari pahala akhirat yang belum bisa dirasakan di dunia ini.
Ketika mereka melihat kemajuan duniawi pada negara-negara kafir, mereka pun terdecak kagum. Kekafiran yang ada pada mereka diabaikan, dan materilah yang jadi ukuran. Akhirnya, mereka mengagungkan orang-orang kafir, menjadikannya sebagai idola, mengikuti adat kebiasaan mereka, sehingga hilanglah sikap bara`ah (berlepas diri dan membenci) terhadap orang-orang kafir, sikap yang pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari laa ilaaha illallah.
Demikianlah keburukan dan bahaya materialisme. Lebih parah dari itu, pemikiran ini bisa saja berujung pada pengingkaran terhadap adanya alam ghaib, pengingkaran terhadap jin, pengingkaran terhadap malaikat bahkan pengingkaran terhadap akhirat, hari kebangkitan dan pengingkaran terhadap adanya Tuhan. Ini adalah kekufuran yang nyata. Allah – Ta’ala – telah berfirman tentang orang-orang kafir,
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
“Dan mereka mengatakan, hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.” (al-An’am: 29)
Kembali kepada akidah Islam
Allah sebagai Sang pencipta telah menyatakan bahwa dunia dan seisinya ini diciptakan bukan untuk kesia-siaan belaka. Bahkan Allah – Ta’ala – memiliki hikmah dan tujuan tertentu dalam menciptakan dunia ini.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاً ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir. Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Shad: 27)
Allah menciptakan dunia ini sebagai tempat ujian bagi umat manusia, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya. Allah berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (al-Mulk: 2)
Allah – Subhanahu wa Ta’ala – juga berfirman,
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahfi: 7)
Inilah keyakinan dan pandangan yang harus dimiliki seorang muslim. Memandang dunia ini sebagai ladang bagi negri akhirat. Segala materi yang ada tidak dijadikannya sebagai tujuan, namun dia hanya bertujuan kepada akhirat. Dia hanya menjadikan keridhaan Allah sebagai patokan untuk menilai segala sesuatu. Dalam setiap sikap dan tindak tanduknya, dia senantiasa memperhatikan akibat-akibat ukhrawi, sehingga dia selalu memiliki penjaga yang akan menjaganya dari penyimpangan dan kesalahan. Dan jika pun dia melakukan kesalahan, dia akan segera bertaubat kepada Allah karena merasa takut dari akibat kesalahannya tersebut.
Oleh karena itulah, dakwah para Nabi – ‘alaihimus salam – berdiri pada tiga pondasi yang senantiasa mereka tegakkan dan tetapkan. Tauhid, yaitu mengesakan Allah l dalam rububiyah, uluhiyah dan nama serta sifat-Nya. Nubuwwah, yaitu menetapkan kenabian dan kerasulan utusan-utusan Allah serta kewajiban mengikuti mereka. Dan yang ketiga adalah tentang ma’ad, yaitu keyakinan tentang adanya hari berbangkit. Dengan keyakinan yang mantap pada poin ketiga ini, seseorang diharapkan bisa terlepas dari penyakit wahn dan sikap materialisme. Dan dengan itu, kaum muslimin akan mendapatkan kekuatan dan kejayaannya, biidznillah.
Wallahu a’lam.
bismillaah,,,assalamu alaykum,,,afwan apakah perkataan ini benar “kehidupan ini harus dijalani tidak berlebih-lebihan alias seimbang,utamanya pendidikan dunia maupun pendidikan akhirat harus balance”
sedangkan kita akan keakhirat yg kekal dan abadi,,tolong penjelasan ustadz,syukron,,barokallahu fiik
wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh
Barangkali artikel dari link di bawah ini bisa menjawab pertanyaan tersebut. barakallahu fiik
https://albamalanjy.wordpress.com/2013/09/24/haruskah-sama-antara-dunia-dan-akhirat/
izin copy pak