Khusyu’ Dalam Shalat
Oleh: Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih Bin Fauzan al-Fauzan – hafizhahullah –
Segala puji hanyalah milik Allah, Penguasa seluruh alam semesta. Dia telah memerintahkan kita untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai bantuan untuk menghadapi berbagai kesulitan hidup. Dan Dia juga mengabarkan bahwa hal itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Dia juga telah menyifati orang-orang yang beriman dengan kekhusyu’an dalam shalat mereka dan menjadikannya termasuk salah satu sifat mereka.
Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1-2)
Aku memuji-Nya atas agungnya karunia dan kebaikan-Nya, dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan pengagungan terhadap kedudukan-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang menyeru menuju keridhaan Allah, semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepadanya, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’du.
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa khusyu’ dalam shalat adalah ruh dan inti dari shalat. Allah telah menyifati para rasul dan hamba-hambanya yang shalih dengan kekhusyu’an dalam shalat, yaitu Allah berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (al-Anbiya: 90)
Dan Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1-2)
Allah juga menyifati orang-orang yang berilmu (para ulama) dengan rasa khasyah (takut) kepada-Nya dan khusyu’ ketika mendengar firman-Nya. Allah berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Allah juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا . وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (al-Isra: 107-109)
Asal kekhusyu’an adalah lembut dan tenangnya hati serta ketundukannya. Dan jika hati telah khusyu’ maka anggota badan pun akan ikut khusyu’. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam –,
ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh, namun jika dia rusak menjadi rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah dia adalah hati.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan setiap kali seseorang membebani diri untuk khusyu’ pada anggota tubuhnya tanpa kekhusyu’an dalam hatinya, maka itu adalah kekhusyu’an nifaq. Umar – radhiyallahu ‘anhu – pernah melihat kepada seorang pemuda yang menundukkan kepalanya, lalu berkata, “Wahai pemuda, angkatlah kepalamu, karena kekhusyu’an itu bukan pada leher, sesungguhnya kekhusyu’an itu tidak lebih dari apa yang ada dalam hati.”
Kekhusyu’an yang ada dalam hati hanyalah tercapai dengan pengetahuan tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan pengetahuan tentang keagungan-Nya. Maka siapa yang lebih mengenal tentang Allah, niscaya dia akan lebih khusyu’ kepada-Nya.
Di antara sebab utama untuk menggapai kekhusyu’an adalah mentadabburi (merenungi) firman Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala telah berfirman,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.” (al-Hasyr: 21)
Allah telah menyifati orang-orang yang beriman dari kalangan ulama ahli kitab dengan kekhusyu’an ketika mendengar al-Quran. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا . وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (al-Isra: 107-109)
Dan Allah juga mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar firman-Nya. Allah berfirman,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16)
Bahkan Allah mengancam orang-orang yang memiliki hati yang keras dengan firman-Nya,
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sering berdoa,
اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ، وقلب لا يخشع ، ومن نفس لا تشبع ، ومن دعوة لا يستجاب لها
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak puas, dan dari doa yang tidak diijabahi.”
Allah telah mensyariatkan untuk hamba-Nya berbagai macam bentuk ibadah yang padanya nampak kekhusyu’an hati dan badan. Dan yang paling agung darinya adalah ibadah shalat. Allah telah memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka dengan firman-Nya,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1-2)
Mujahid berkata, “Dahulu para ulama, jika salah seorang dari mereka berdiri untuk shalat, dia merasa takut terhadap ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, sehingga dia tidak berani menyimpangkan pandangannya, atau menoleh, atau membolak-balik kerikil, atau bermain dengan sesuatu, atau berbicara kepada diri sendiri tentang urusan dunia, kecuali karena lupa, selama dia dalam shalatnya.”
Dan dalam Shahih Muslim dari Utsman – radhiyallahu ‘anhu – dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – beliau bersabda,
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Tidaklah seorang muslim yang mendapatkan waktu shalat wajib lalu dia memperbagus wudhunya, kekhusyu’annya dan ruku’nya, melainkan shalat itu menjadi kafarah (penghapus) bagi dosa yang telah lalu, selama dia tidak melakukan dosa besar, dan itu adalah sepanjang masa.”
Wahai hamba-hamba Allah, ada beberapa sebab untuk menggapai kekhusyu’an dalam shalat. Yang paling utama adalah seorang hamba menghadirkan dalam hatinya akan keagungan Rabbnya yang dia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia Mahadekat darinya, Dia melihat dan mendengarnya, mengetahui apa yang ada dalam hati dan perasaannya. Dengan demikian dia akan merasa malu kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla.
Di antara sebab kekhusyu’an dalam shalat, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dan meletakkannya di atas dadanya. Yang hal ini memiliki makna kerendahan diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Imam Ahmad – rahimahullah – pernah ditanya tentang maksud dari itu (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada -pen), maka dia berkata, “Ini adalah kerendahan diri di hadapan Allah Yang Mahaperkasa.”
Di antara sebab kekhusyu’an dalam shalat, tidak bergerak-gerak dan bermain-main, serta berusaha menetapi ketenangan. Oleh karenaya, ketika sebagian salaf melihat seseorang yang bermain-main dengan tangannya dalam shalat, dia berkata, “Seandainya hati orang ini khusyu’ niscaya khusyu’ pula anggota tubuhnya.” dan ini diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Sebagaian orang, ketika dia shalat menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya, bermain-main dengan jenggot dan hidungnya, sampai-sampai dia mengganggu orang yang berada di sampingnya, ini tentu menunjukkan ketidak-khusyu’annya di dalam shalat.
Di antara sebab kekhusyu’an dalam shalat, menghadirkan hati dalam shalat dan tidak menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia dan amalan-amalan dunia, menghadirkan hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak menyibukkan diri dengan selain shalatnya. Dan telah datang larangan menoleh dalam shalat. Para ulama mengatakan bahwa menoleh dalam shalat itu ada dua macam.
Pertama, menolehnya hati dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu dengan berpalingnya hati kepada dunia dan kesibukannya, tidak mengonsentrasikan hati hanya untuk Rabbnya. Dalam Shahih Muslim, dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa beliau berkata tentang keutamaan dan pahala wudhu,
فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Jika dia berdiri lalu shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya dan memuliakan-Nya dengan (berbagai pujian) yang Dia berhak terhadapnya, dan dia mengosongkan hatinya hanya untuk Allah, niscaya dia akan meninggalkan dosa-dosanya sebagaimana keadaan dia ketika hari dilahirkan oleh ibunya.”
Kedua, menoleh dengan pandangannya, ke kanan dan ke kiri. Yang disyariatkan dalam shalat adalah membatasi pandangan pada tempat sujudnya, karena ini termasuk konsekuensi kekhusyu’an, dan tidak menyibukkan diri dengan pemandangan sekitarnya. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berkata, aku bertaya kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang menoleh dalam shalat, lalu beliau bersabda,
هو اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد
“Itu adalah pencurian yang dilakukan oleh syaitan dari shalatnya seorang hamba.”
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi mengeluarkan hadits dari al-Harits al-Asy’ari, dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – , “Bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya – ‘alaihimas salam – untuk shalat. Dan sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama dia tidak menoleh. Maka jika kalian shalat janganlah menoleh.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Abu Dzar – radhiyallahu ‘anhu – dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
لا يزال الله مقبلاً على العبد في صلاته ما لم يلتفت ، فإذا التفت انصرف عنه
“Allah senantiasa menghadap hamba dalam shalatnya selama dia tidak menoleh. Jika dia menoleh maka Allah berpaling darinya.”
Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya pada setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalat terdapat ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seperti berdiri, ruku’, dan sujud, demikian pula bacaan-bacaan dzikir yang diucapkan dalam keadaan-keadaan ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (al-Baqarah: 238)
Dia juga berfirman,
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (al-Baqarah: 43)
Karena ruku’ adalah ketundukan kepada Allah dan kerendahan diri di hadapan-Nya dengan zhahir tubuh. Sedangkan orang-orang yang sombong enggan untuk ruku’, maka Allah mengancam mereka dengan firman-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ . وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah”, niscaya mereka tidak mau ruku’.” (al-Mursalat: 48)
Termasuk juga adalah sujud, perbuatan shalat yang paling nampak padanya kerendahan seorang hamba kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Dimana dalam sujud seorang hamba menjadikan anggota tubuhnya yang paling mulia dan paling tinggi pada tempat yang paling rendah di hadapan Rabbnya. Maka sebagian anggota tubuhnya menempel pada tanah, dan hal itu diikuti dengan kerendahan hati, ketundukan dan kekhusyu’annya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, balasan untuk seorang mukmin jika melakukannya adalah Allah akan mendekatkannya kepada-Nya. Maka keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud. Sebagaimana hal ini telah shahih dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya,
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” (al-‘Alaq: 19)
Iblis telah bersikap sombong tidak mau sujud, maka dia kembali membawa laknat dan kerendahan. Orang-orang musyrik dan munafik pun enggan dan sombong untuk melakukan sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka bahwa Allah akan menghalangi mereka dari sujud kepada-Nya pada hari kiamat ketika berjumpa dengan-Nya, karena mereka enggan sujud kepada-Nya ketika masih di dunia. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (al-Qalam: 42-43)
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri – radhiyallahu ‘anhu – berkata, aku mendengar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ فَيَبْقَى كُلُّ مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِي الدُّنْيَا رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا
“Rabb kita menyingkap betis-Nya lalu sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin baik laki-laki maupun wanita. Maka tinggallah setiap orang yang dahulu ketika di dunia sujud karena riya dan sum’ah, mulailah dia untuk bersujud akan tetapi punggungnya menjadi satu tulang.”
Imam Ibnu Katsir berkata, “Hadits ini dikeluarkan di dalam ash-Shahihain, dan dalam kitab hadits yang lain dari banyak jalan, hadits ini memiliki beberapa lafazh, dan hadits ini adalah hadits panjang yang populer.”
Termasuk kesempurnaan kekhusyu’an hamba dalam ruku’ dan sujudnya, bahwa ketika dia merendahkan diri kepada Rabbnya dengan ruku’ dan sujud, maka ketika itu dia menyifati Rabbnya dengan sifat-sifat mulia, kebesaran, keagungan dan ketinggian. Maka seolah-olah dia berkata, kerendahan dan ketundukan adalah sifatku, sedangkan ketinggian, keagungan, kebesaran adalah sifat-Mu. Oleh karena itu disyariatkan bagi seorang hamba dalam ruku’nya untuk membaca,
سبحان ربي العظيم
“Aku mensucikan Rabbku yang Mahaagung.” sedangkan dalam sujudnya untuk membaca,
سبحان ربي الأعلى
“Aku mensucikan Rabbku Yang Mahatinggi.”
Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya memperhatikan rahasia-rahasia shalat dan faidahnya bisa memudahkan seorang hamba untuk menunaikannya dan menjadikannya bisa merasakan lezatnya shalat. Sebagaimana Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah bersabda,
“Telah dijadikan penyedap pandanganku ada pada shalat.”
Dan Allah telah berfirman,
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Dan sesungguhnya yang demikian itu adalah sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (al-Baqarah: 45)
Allah juga berfirman,
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (al-Baqarah: 45)
Allah juga berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Ankabut: 29)
Akan tetapi, ketika seorang hamba lalai dari faidah-faidah shalat dan rahasia-rahasianya, maka shalat itu menjadi berat baginya. Ketika dia masuk dalam shalatnya, seolah-olah dia berada dalam penjara sehingga dia selesai dari shalatnya. Oleh karenanya, banyak keinginan untuk masuk dalam shalat namun dia hanya melakukan shalat sebagai kebiasan saja atau hanya basa-basi saja.
Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah dalam shalat kalian. Karena sesungguhnya shalat adalah tiang Islam, shalat mencegah perbuatan keji dan dosa, shalat adalah wasiat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terakhir sebelum beliau meninggalkan dunia, shalat adalah perkara agama yang akan hilang paling akhir, tidak ada lagi agama setelah hilangnya shalat.
bagus sekalia artikelnya dan sangat membertitahuan kepada kita semua agar senantiasa beriman.