Bolehkah kita mengqadha shalat sunah rawatib jika suatu saat kita meninggalkannya?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rohimahullah- berkata:
Barangsiapa terlewat sebagian dari sholat rawatib, maka disunahkan baginya untuk mengqadhanya, dengan syarat hal itu disebabkan karena ‘udzur.
Dalilnya adalah hadits yang telah sah dari Abu Hurairah dan Abu Qatadah tentang kisah tidurnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau ketika mereka dalam perjalanan sehingga tertinggal waktu shalat fajar (subuh). Dimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan shalat rawatib fajar (qabliyah subuh) terlebih dahulu, kemudian baru mengerjakan shalat wajibnya. [1]
Demikian juga hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah tersibukkan dari dua raka’at setelah shalat zhuhur. Lalu beliau mengqadhanya setelah shalat ashar. [2]
Dan ini adalah nash dalam masalah qadha shalat rawatib.
Demikian juga [termasuk dalil untuk hal ini], keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها
“Barangsiapa ketiduran sehingga ketinggalan shalat, atau lupa terhadap suatu shalat, maka hendaknya dia shalat ketika mengingatnya.” [3]
Dan ini mencakup shalat wajib dan shalat nafilah (sunah). Akan tetapi ini [disyariatkan] jika dia meninggalkannya karena suatu ‘udzur, seperti lupa atau ketiduran atau tersibukkan dengan sesuatu yang lebih penting.
Adapun jika dia meninggalkannya secara sengaja sehingga terlewat waktunya, maka dia tidak mengqadhanya. Jika dia tetap mengqadhanya, maka tidak sah sebagai shalat rawatib. Hal itu karena shalat rawatib adalah ibadah yang tertentu waktunya. Sedangkan ibadah-ibadah yang tertentu waktunya, jika seseorang menyengaja mengeluarkannya dari waktunya maka tidak akan diterima ibadah itu darinya.
Dalilnya adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka tertolak.” [4]
Dan ibadah yang tertentu waktunya jika engkau akhirkan dari waktunya secara sengaja berarti engkau telah melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah Allah dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaih wa sallam- sehingga ibadah itu tidak diterima. Karena perintah Allah dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaih wa sallam- adalah engkau melakukan shalat itu pada waktunya.
[Selesai nukilan perkataan beliau –rahimahullah- dari asy-Syarhul Mumti’ 4/72-73]
Catatan kaki:
[1] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al-Masajid, bab Qadha ash-Shalat al-Faitah was Tihbab Ta’jil Qadha-iha (681) (311)
[2] Dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab as-Sahwi, bab Idza Kullima wa Huwa Yushalli fa Asyara bi Yadihi, wastama’a (1233), dan Muslim, kitab Shalatul Musafirin, bab Ma’rifatir Rak’atain allataini Kana Yushallihan Nabiy -shallallahu ‘alaihi wa sallam- Ba’dal Ashr, (834) (297)
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, kitab Mawaqitush Shalat, bab Man Nasiya Shalatan fal Yushalliha Idza Dzakaraha, (597), dan Muslim, kitab al-Masajid, bab Qadhaus Shalat al-Faitah, (684) dari hadits Anas bin Malik.
[4] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab al-Aqdhiyah, bab Naqdhil Ahkam al-Bathilah (1718) (18)
Trimaksih uztadz atas blognya smoga anda di brikan rahmat oleh alloh subhanahuwatala
Asalamu’alaikum.wr.wb
bagaimana sikap kita ketaka sholat sunah rowatib dimasjid dan ada orang barudatang dan makmum ke saya.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh
Ada fatwa dari Syaikh Abdulaziz bin Baz -rahimahullah- berkaitan dengan hal ini, ketika ada seseorang yang bertanya yang inti pertanyaannya apakah seseorang yang terluput dari shalat berjamaah bersama imam boleh menjadikan salah seorang makmum masbuq sebagai imamnya?
Maka Syaikh -rahimahullah- menjawab:
“Perkara dalam hal ini adalah perkara yang lapang. Jika engkau shalat sendiri, maka ini lebih hati-hati dan lebih utama, karena sebagai usaha untuk menghindari perselisihan para ulama. Dan jika bersamamu ada jama’ah lain, maka lebih baik dan lebih utama engkau shalat berjamaah bersama mereka, tidak bersama orang yang makmum masbuq. Namun jika engkau shalat bersama orang yang makmum masbuq dan engkau menjadikannya sebagai imam bagimu, maka menurut pendapat yang benar hal itu tidak mengapa. Dan shalatnya sah, insyaallah. Akan tetapi yang lebih utama bagimu adalah engkau shalat sendirian, karena banyak para ulama tidak berpendapat bolehnya masbuq yang sedang meneruskan shalatnya menjadi imam. Jika engkau shalat bersamanya, maka tidak mengapa sebagaimana jika engkau menjadi makmum kepada orang yang sedang shalat sendirian lalu engkau menjadikannya sebagai imam, maka hal itu tidak mengapa, sedangkan berjamaah dalam shalat adalah sesuatu yang dituntut.” (Fatawa Nur ‘alad Darb 2/964, bisa dilihat di http://islamqa.info/ar/ref/132308 )
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga pernah ditanya: “ada seseorang yang tertinggal beberapa rakaat (dalam shalat berjamaah) lalu ketika dia sedang menyempurnakan shalatnya setelah imam mengucapkan salam, masuklah sekelompok orang ke dalam masjid kemudian menjadikannya sebagai imam. Apakah perbuatan ini dibenarkan?”
Maka Syaikh menjawab:
“Iya, perbuatan itu sah. Dan orang ini berpindah dari keadaannya sebagai makmum menjadi sebagai imam. Jika dia telah selesai menyempurnakan shalatnya, maka orang-orang yang datang tadi berdiri untuk menyempurnakan shalat mereka jika mereka hanya mendapati sebagian rakaat saja.” (Fatwa ini bisa didengarkan dari rekamannya di http://ar.islamway.com/fatwa/8764 )
Dari fatwa tersebut mudah-mudahan bisa dipahami bagaimana sikap seorang makmum masbuq yang dijadikan imam oleh orang lain.