Manhaj

al-Wala dan al-Baro

Seorang Muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat tentu dituntut untuk mengerjakan konsekuensi dari dua kalimat tersebut. Dan salah satu konsekuensi terbesar darinya adalah sikap wala (loyalitas) terhadap sesama muslim dan sikap baro (berlepas diri dan memusuhi) terhadap orang kafir.
Oleh karena itu, permasalahan al-wala dan al-Baro sungguh menempati kedudukan yang sangat penting dalam agama ini.
Berikut ini akan disampaikan sebuah fatwa ringkas dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – rohimahulloh – berkenaan dengan bagaimana sikap kita dalam masalah al-Wala dan al-Baro ini.

Ketika Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rohimahulloh- ditanya tentang al-Wala dan al-Baro, beliau menjawab:
Al-Baro dan al-Wala karena Allah ta’ala adalah, seseorang berlepas diri dari setiap perkara yang Allah berlepas diri darinya. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya.” (al-Mumtahanah: 4)
Dan ini adalah terhadap orang-orang musyrik, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣)

“Dan (inilah) suatu pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (at-Taubah: 3)

Maka seorang mukmin wajib berlepas diri dari setiap orang musyrik dan kafir. Ini berkaitan dengan individu manusia.
Begitu pula wajib bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari setiap amalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya –shollallohu ‘alaih wa sallam-, meskipun amalan itu tidak sampai pada derajat kekufuran, seperti kefasikan atau kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (al-Hujurat: 7)

Jika ada seorang mukmin yang memiliki keimanan sekaligus ada kemaksiatan padanya, maka kita wala (mencintai, menolong, mendekat -pent) kepadanya karena keimanannya, dan kita membencinya karena kemaksiatannya. Dan hal ini (berkumpulnya perkara yang dicintai dan dibenci pada suatu hal -pent) berlaku pula pada kehidupan kita. Terkadang, Anda mengambil suatu obat yang rasanya tidak enak dan Anda membencinya. Namun demikian Anda tetap menyukainya karena ada kesembuhan dari penyakit pada obat tersebut.

Sebagian orang membenci seorang mukmin pelaku maksiat dengan kebencian yang lebih besar dari pada kebencian terhadap seorang kafir. Ini adalah suatu hal yang aneh dan membalik kenyataan yang sebenarnya. Seorang kafir adalah musuh Allah, Rasul-Nya –shollallohu ‘alaihi wa sallam– dan orang-orang yang beriman. Wajib bagi kita membencinya dari segenap hati kita.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥١) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ (٥٢)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (al-Maidah: 51-52)

Orang-orang kafir itu tidak akan ridha kepada Anda kecuali jika Anda mengikuti agama mereka dan menjual agama Anda.

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا

“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman.” (al-Baqarah: 109)
Dan ini dalam seluruh jenis kekafiran; juhud, ingkar, takdzib, syirik, dan ilhad.
Adapun amalan-amalan, maka kita berlepas diri dari setiap amalan yang haram. Tidak boleh bagi kita terbiasa dengan amalan-amalan haram, tidak boleh bagi kita untuk melakukannya. Sedangkan (terhadap) seorang mukmin pelaku maksiat, maka kita berlepas diri dari amalan maksiatnya, akan tetapi kita berwala dan mencintainya karena keimanan yang ada padanya.

Selesai nukilan fatwa beliau dari: Majmu’ Fatawa wa Rasa`il, Syekh Muhammad al-Utsaimin (2/11-12)

Dari fatwa di atas, kita bisa mengambil beberapa pelajaran, antara lain:
1. Al-wala dan al-Baro adalah akidah dan keyakinan Nabi Ibrohim -‘alaihis salaam- beserta para Rosul yang bersama beliau, termasuk yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad – shollallohu ‘alaihi wa sallam.
2. Setiap muslim wajib berlepas diri dari orang-orang musyrik dan kafir. Membenci mereka dan menganggap mereka sebagai musuh selama mereka masih dalam kekafirannya.
3. Setiap muslim wajib berlepas diri dari setiap amalan-amalan yang tidak dicintai dan diridhai Allah, baik amalan yang sampai pada derajat kekufuran maupun amalan yang tidak sampai pada derajat kekufuran. Dan hal ini termasuk dalam sikap membenci sesuatu karena Allah.
4. Sikap kita terhadap pelaku maksiat dari kalangan orang yang beriman adalah membenci dan berlepas diri darinya sesuai kadar kemaksiatan yang dilakukannya. Namun kita tetap mencintainya karena dia masih tergolong orang yang beriman. Dan inilah bentuk perwujudan cinta dan benci karena Allah. Bahwa kecintaan dan kebencian kita kepada sesuatu hendaknya diukur dengan kecintaan dan kebencian Allah kepadanya.
5. Kebencian kita kepada seorang muslim pelaku maksiat tidak boleh sama atau melebihi kebencian kita kepada orang-orang kafir. Hal itu karena pada diri seorang muslim masih ada faktor yang menuntut kita untuk mencintainya, yaitu iman dan islam. Sedangkan pada diri orang kafir tidak ada faktor tersebut.
6. Orang-orang kafir tidak henti-hentinya berusaha untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Maka ini jelas menuntut kita untuk benar-benar kembali kepada agama Islam yang murni, tentu dimulai dengan mempelajarinya kembali dari sumber aslinya.
Wallohu a’lam.

Satu tanggapan untuk “al-Wala dan al-Baro”

Tinggalkan Balasan ke al-akh Batalkan balasan