Setelah kita mengetahui beberapa sebab kurangnya rasa syukur – dalam makalah sebelumnya – maka di sini akan kami sampaikan bagian dari apa yang kami lihat sebagai solusi terhadap kurangnya rasa syukur. Terlebih-lebih syukur dengan amalan, dengan anggota badan.
Di antaranya adalah sebagai berikut:
((1.)) Memperhatikan nikmat-nikmat Alloh ta’ala dan mengingat-ingatnya. Sesungguhnya, seorang manusia dalam setiap keadaannya berada dalam kenikmatan. Bahkan, tidak ada satu waktu pun dari kehidupannya yang melewati dirinya melainkan dia berada dalam kenikmatan Alloh ta’ala. Dan dalam hal ini (poin pertama ini – pent) terdapat sambutan terhadap perintah Alloh ta’ala dalam firmanNya,
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu” (al-Baqarah: 231)
Dan Alloh ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu. Adakah Pencipta selain Alloh yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang hak selain dia. Maka mengapakah kamu berpaling?” (Fathir: 3)
Dan banyak ayat-ayat yang semakna dengan ini.
((2.)) Berdoa secara khusyu’ dan merendahkan diri kepada Alloh ta’ala agar Dia mengilhamkan kepada hambaNya yang lemah sikap syukur terhadap nikmatNya dan (memberikan) pertolongan untuk melaksanakan tugas yang agung ini, dimana seorang hamba tidak akan bisa melaksanakannya kecuali dengan pertolongan Alloh ta’ala. Berdoa dengan khusyu’ dan merendahkan diri adalah salah satu sifat para nabi dan utusan Alloh ta’ala, dan juga sifat hamba-hambaNya yang sholih.
Alloh berfirman tentang Nabi Sulaiman – ‘alaihish sholatu was salam –
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholih yang Engkau ridhoi. Dan masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang sholih.” (an-Naml: 19)
Dan Alloh ta’ala berfirman tentang seorang hamba yang sholih,
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang sholih yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (al-Ahqaf: 15)
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat kepada Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhu dengan suatu doa yang agung. Beliau bersabda kepadanya, dengan memegang tangannya,
يَا مُعَاذُ ، وَاللهِ إِنِّي َلأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ أَنْ تَقُولَ : اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, demi Alloh sesungguhnya aku mencintaimu. Kemudian, aku wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, jangan sampai engkau meninggalkan doa pada setiap akhir sholat dengan ucapan:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Wahai Alloh, berilah pertolongan kepadaku untuk mengingatMu, mensyukuriMu dan beribadah kepadaMu dengan baik.” [Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1522, an-Nasa`i (3/53) dengan sanad yang shohih. Al-Hafizh berkata dalam Bulughul Maram, “Sanadnya kuat.” Dan lihat keterangan Ibnul Qoyyim terhadap hadits ini dalam kitabnya al-Fawa`id halaman 234]
Dan dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Apakah kalian senang bersungguh-sungguh dalam berdoa? Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Wahai Alloh, berilah pertolongan kepada kami untuk mengingatMu, mensyukuriMu dan beribadah kepadaMu dengan baik.” [Dikeluarkan oleh Ahmad (7969), al-Haitsami berkata (10/172), “Para perawinya adalah para perawi ash-Shohih kecuali Musa bin Thoriq, dan dia adalah seorang yang tsiqoh.” Hadits Mu’adz sebelum ini menjadi syahid yang menguatkannya. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shohih.”]
((3.)) Hendaknya seorang hamba mengetahui bahwa Alloh ta’ala akan bertanya kepadanya pada hari kiamat tentang syukur terhadap nikmatNya. Apakah dia melaksanakannya ataukah meremehkannya. Alloh ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (at-Takatsur: 8)
Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, “Yakni, kemudian kamu akan ditanya pada hari itu tentang syukur terhadap segala nikmat yang telah Alloh berikan kepadamu, berupa kesehatan, keamanan, rezeki, dan selainnya. Balasan apa yang telah kalian lakukan, berupa syukur dan ibadah.” [Tafsir Ibnu Katsir (8/494)]
Dan dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي الْعَبْدَ أَنْ يُقَالَ : أَلَمْ نُصِحَّ جِسْمَكَ ، وَنُرْوِيْكَ مِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
“Sesungguhnya pertama kali yang akan ditanyakan – yakni kepada seorang hamba – pada hari kiamat adalah, “Bukankah Kami telah menyehatkan tubuhmu dan Kami puaskan engkau dengan (minum) air yang dingin.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 3358, Ibnu Hibban (16/364) dan al-Hakim (4/38), dia berkata sanadnya shohih. Dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Al-Albani menyebutkannya dalam ash-Shohihah no. 539]
((4.)) Hendaknya seorang manusia mengetahui dengan yakin bahwa kenikmatan-kenikmatan itu, jika disukuri akan terjaga dan bertambah, jika dikufuri akan pergi dan sirna. Alloh ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Robbmu mengumumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Maka seandainya seorang hamba menginginkan kekalnya kenikmatan itu, hendaknya dia menetapi syukur. Tanpany, nikmat tidak akan kekal.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rohimahulloh berkata, “Wajib kalian menetapi sifat syukur atas kenikmatan-kenikmatan. Alangkah jarangnya kenikmatan yang telah hilang dari suatu kaum lalu kenikmatan itu kembali lagi kepada mereka.” [Mukhtashor Minhajil Qoshidin, halaman 291]
((5.)) Hendaknya seorang yang memperoleh kenikmatan, meskipun sedikit, hendaknya dia melihatnya dengan pandangan pengagungan (terhadap nikmat itu), dan menampakkan kebutuhannya. Karena nikmat itu adalah dari Allah, sedangkan yang sedikit dari Allah tidaklah dikatakan sedikit.
Dia telah menyampaikan kenikmatan itu kepadamu semata-mata karena keutamaan dan anugrah dariNya, bukan karena engkau memiliki hak atasnya.
Dan termasuk kebodohan terhadap nikmat, seorang manusia melihat kenikmatan itu sedikit dan tidak layak disyukuri, dan dia (menganggap) dirinya mungkin untuk menggapainya. Ini adalah pemahaman yang rusak. Karena segala sesuatu yang hendak dicari oleh seorang manusia, tidak akan terwujud melainkan jika Alloh memberikan kemudahan, meskipun hal itu sesuatu yang kecil. Jika telah terwujud, berarti itu adalah kenikmatan dari Alloh atasnya. Karena tercapainya hal tersebut adalah suatu kemaslahatan bagi makhluk yang lemah ini, yang tidak menguasai bahaya dan manfaat bagi dirinya.
((6.)) Hendaknya seorang manusia memikirkan keadaan dirinya, memperhatikan hidupnya sebelum mendapatkan kenikmatan ini, dan bagaimana keadaannya ketika itu. Dia melihat keadaannya ketika tidak memiliki nikmat itu. Jika dia telah kaya, maka hendaknya dia melihat ketika miskin. Jika dia sehat, maka melihat ketika sakit. Jika dia telah memiliki rumah, hendaknya melihat keadaannya ketika belum memiliki rumah, akan tetapi menyewa atau di rumah sempit yang tidak dia sukai. Demikianlah seluruh kenikmatan, dia melihat kepada kebalikannya agar dia mengetahui kedudukan nikmat itu sehingga dia mensyukurinya.
((7.)) Hendaknya seorang manusia melihat orang yang di bawahnya dalam urusan dunia. Jika dia melakukan hal tersebut, dia akan merasakan agungnya pemberian Alloh kepadanya dan keutamaan yang Alloh berikan kepadanya atas orang lain. Sehingga dia tidak akan mencela satu kenikmatan pun atau meremehkan satu pemberian pun. Maka dia pun mencintai dan bersyukur kepada Alloh ta’ala, merendahkan diri kepada Robbnya dan melakukan kebaikan, sehingga jadilah dia termasuk orang-orang yang bersyukur.
Inilah yang diarahkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ ، وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِكُمْ ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian, jangan melihat orang yang lebih tinggi dari kalian. Karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Alloh atas kalian.” [Diriwayatkan oleh Muslim (2963)]
Maka hendaknya seorang manusia melihat kepada orang yang dibawahnya, di antara orang-orang yang diuji dengan kemiskinan yang menghinakan atau hutang yang mengerikan. Dan hendaknya dia mengetahui apa yang ada padanya berupa keselamatan dari dua hal tersebut. Itu adalah kenikmatan yang agung, sehingga dia bersyukur kepada Robbnya.
Dia melihat kepada orang yang diuji dengan berbagai penyakit, lalu beralih (melihat) keutamaan yang diberikan kepada dirinya melebihi orang tersebut, berupa keselamatan dan kesehatan, sehingga dia bersyukur kepada Maula-nya dan menggunakan itu semua dalam ketaatan kepadaNya.
Dia melihat kepada orang yang cacat pada bentuk fisiknya, seperti buta, tuli, kehilangan sebagian anggota badan, lalu beralih (melihat) keadaan dirinya yang selamat dari cacat-cacat yang mendatangkan rasa sedih dan menghalangi seorang manusi dari banyak perbuatan, sehingga dia bersyukur kepada Robb dan Penciptanya, menggunakan indranya yang telah Alloh selamatkan, untuk mentaatiNya dan mencari keridhoannya.
Dia melihat kepada orang yang diuji dengan dikumpulkannya harta dunia (baginya) namun tidak mau memenuhi kewajiban atas hak-hak (harta), sehingga dia mengetahui bahwa dirinya telah diberi keutamaan dengan disedikitkannya (harta dunia untuknya). Dia telah diberi nikmat dengan sedikitnya pertanggungjawaban harta, dimana harta yang halal akan dihisab dan yang haram akan mengakibatkan siksa. Maka dia pun bersyukur atas ketenangan hatinya, atas terpusatnya keinginan dan atas terwujudnya sifat qona’ah.
Jika seorang manusia meletakkan di hadapannya makna agung yang terkandung dalam hadits yang mulia ini, niscaya dia akan melihat bahwa dirinya melebihi banyak makhluk dalam hal keselamatan dan rezeki beserta konsekuensinya, bagaimanapun keadaannya. Sehingga hilanglah rasa sedih dan ketegangannya, bertambahlah kegembiraan dan kebahagiaannya dengan kenikmatan Alloh yang ada padanya, yang menjadikan dia melebihi orang lain yang berada di bawahnya. [Lihat Subulus Salam (4/302)]
Alangkah indahnya perkataan sebagian salaf, “Sungguh, kenikmatan Alloh dalam perkara dunia yang Dia lipat dari kita, lebih utama dari kenikmatan Alloh dalam perkara dunia yang Dia bentangkan kepada kita. Hal itu karena Alloh tidak meridhoi dunia bagi nabiNya. Maka sungguh, keberadaanku dalam keadaan yang Alloh ridhoi dan cintai untuk nabiNya, lebih aku sukai daripada aku berada pada perkara yang Dia benci dan murkai.” [‘Uddatus Shobirin, halaman 112]
((8.)) Dan hal yang memberikan andil terhadap solusi atas peremehan manusia terhadap sikap syukur adalah adanya saling berwasiat untuk mensyukuri nikmat-nikmat Alloh dan menunaikan hakNya. Karena mengingatkan manusia untuk bersyukur adalah perkara yang dituntut. Terlebih lagi dari orang yang perkataannya didengar, seperti khatib jum’at, imam masjid dan selain keduannya di antara para pemberi nasihat dan penceramah.
Umar bin Abdil Aziz rohimahulloh berkata, “Saling mengingatkan nikmat adalah bentuk syukur.” [Robi’ul Abror, 4/328]
Dan pendahulu umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in senantiasa menetapi sikap bersyukur kepada Alloh ta’ala, memuji dan menyanjungNya pada setiap perjumpaan dan perkumpulan.
Hal itu tidak lain karena terangnya hati-hati mereka dan pengetahuan mereka terhadap nikmat Alloh atas mereka. Bahkan sebagian mereka sengaja menemui saudaranya dan menanyakan keadaannya, padahal keduanya baru saja berpisah. Dan tujuan dia bertanya atau memberi salam kepadanya itu tidak lain adalah agar dia mendengar pujian dan sanjungan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala darinya.
Dan hal tersebut telah ada dalam petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan perjalanan hidup beliau yang mulia. Telah datang suatu hadits dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang,
كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا فُلاَنُ ؟ قَالَ : أَحْمَدُ اللهَ إِلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَذَا الَّذِي أَرَدْتُ مِنْكَ
“Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai fulan?” Dia menjawab, aku bersamamu memuji Alloh wahai Rosululloh. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah yang aku inginkan darimu.” [Dikeluarkan oleh ath-Thobroni dalam al-Ausath (5/191) no. 4374, dan dihasankan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa`id (10/14)]
Perkataan: أحمد الله إليك bermakna أحمد الله معك (Aku bersamamu memuji Alloh) atau bermakna أشكر معك أياديه ونعمه (Aku bersamamu mensyukuri pertolongan-pertolongan dan nikmat-nikmatNya), sehingga kata إلى bermakna مع.
Dan dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata, aku mendengar Umar bin al-Khothob rodhiyallohu ‘anhu memberi salam kepada seseorang. Lalu orang itu menjawab salam kepadanya. Kemudian Umar bertanya kepadanya, “bagaimana keadaanmu?” Dia pun menjawab, “Aku memuji Alloh bersamamu.” Maka Umar berkata, “inilah yang aku inginkan darimu.” [Dikeluarkan oleh Ibnul Mubarok dalam az-Zuhd halaman 68]
Dan dari Alqomah bin Martsad, dari Abdulloh bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata, “Sungguh, barangkali kami berjumpa berkali-kali pada satu hari. Sebagian kami bertanya kepada yang lain tentang keadaannya. Dan tidaklah kami menghendaki dengan hal itu melainkan pujian kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.” [Sama dengan referensi sebelumnya, halaman 67 dan 69. Dan lihat Risalah Mustarsyidin halaman 141]
Solusi yang kami sebutkan ini hanyalah akan bermanfaat bagi orang yang memiliki hati yang mampu melihat dengan bashiroh dan merenungkan nikmat-nikmat Alloh ta’ala. Adapun hati yang dungu, yang tidak menganggap suatu kenikmatan sebagai nikmat kecuali jika telah tertimpa musibah, maka jalan bagi pemilik hati ini adalah selalu melihat kepada orang yang berada di bawahnya, mudah-mudahan Alloh menyadarkannya dari kelalaiannya sehingga dia melihat nikmat-nikmat Alloh dan mensyukurinya. [Silakan meruju’ kepada Mukhtashor Minhajil Qoshidin, halaman 290]
Dan awal martabat kebahagiaan seorang hamba adalah dia memiliki telinga yang mampu mendengar dan hati yang mampu memahami apa yang didengar oleh telinga. Jika dia telah mendengar dan memahami, dia akan mengingat anugrah Alloh atasnya. Setiap kali ada kenikmatan yang baru baginya, dia pun akan memperbaharui syukurnya terhadap nikmat itu. Maka orang ini berada di atas kebaikan dan berjalan menuju kebaikan.
Diterjemahkan dari makalah Syaikh Abdulloh bin Sholih al-Fauzan hafizhohulloh, dengan judul
علاج التقصير في الشكر
Sumber (berbahasa arab): http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=2066&Itemid=47