دَفْعُ إِيْهَامِ الاِضْطِرَابِ عَنْ آيَةِ الْكِتَابِ
تأليف
الشيخ محمد الأمين بن محمد بن المختار الشنقيطي – رحمه الله
MENOLAK ANGGAPAN KONTRADIKSI AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Bagian 3
(Surat al-Baqoroh ayat 29)
Karya
Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad bin al-Mukhtar asy-Syinqithiy – rohimahulloh
Firman Alloh ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah yang menciptakan bagi kalian segala sesuatu yang ada di bumi, kemudian Dia menuju (penciptaan) langit lalu menyempurnakannya menjadi tujuh lapis langit, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu.” [QS. Al-Baqoroh: 29]
Ayat ini menunjukkan bahwa penciptaan bumi terjadi sebelum penciptaan langit, dengan dalil lafadz ثم (kemudian), yang mana lafadz tersebut menunjukkan urutan dan pemisahan. Begitu pula ayat dalam surat haa miim as-sajdah (surat Fushshilat), juga menunjukkan penciptaan bumi sebelum penciptaan langit, karena Dia berfirman,
قُلْ أَإِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ
“katakanlah, apakah kalian kafir terhadap (Dzat) yang menciptakan bumi dalam dua hari…” [QS. Fushshilat: 9] sampai pada firman-Nya,
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
“kemudian Dia menuju (penciptaan) langit, sedangkan dia (langit) berupa asap.” [QS. Fushshilat: 11]
Padahal ayat dalam surat An-Nazi’aat menunjukkan bahwa pembentangan bumi adalah setelah penciptaan langit, karena Alloh berfirman,
أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقاً أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا
“Apakah kalian yang lebih susah penciptaannya ataukah langit? Dia telah membangunnya…” [QS. An-Nazi’aat: 27] sampai pada firman-Nya,
وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
“Dan bumi setelah itu Dia bentangkan.” [QS. An-Nazi’aat: 30]
Pertama-tama ketahuilah, bahwa Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma pernah ditanya tentang pemaduan antara ayat dalam surat haa miim as-sajdah dengan ayat dalam surat An-Nazi’aat. Lalu beliau menjawab bahwa Alloh menciptakan bumi pertama kali sebelum menciptakan langit dengan tidak dibentangkan. Kemudian Dia menuju penciptaan langit lalu menyempurnakannya menjadi tujuh lapis dalam waktu dua hari. Kemudian Dia membentangkan bumi setelah itu, menciptakan gunung-gunung, sungai-sungai dan semisalnya padanya. Maka asal penciptaan bumi adalah sebelum penciptaan langit, namun pembentangannya dengan gunung-gunung, pepohonan dan lainnya adalah setelah menciptakan langit. Dan hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya,
وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
“Dan bumi setelah itu Dia bentangkan.” [QS. An-Nazi’aat: 30]
Dia tidak berfirman (dalam ayat ini), ‘Dia ciptakan’. Kemudian Dia menjelaskan makna pembentangannya dengan firman-Nya,
أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
“Dia keluarkan darinya (bumi) air dan tumbuh-tumbuhannya.” [QS. An-Nazi’aat: 31]
Pemaduan antara dua ayat ini sebagaimana yang dilakukan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma ini sangat jelas dan tidak ada musykilah padanya, difahami dari zhohir al-Qur’an yang agung. Hanya saja, muncul permasalahan dari ayat dalam surat al-Baqoroh ini. Yaitu, bahwa Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma telah memadukan bahwa penciptaan bumi adalah sebelum penciptaan langit dan pembentangan bumi setelah penciptaan langit, namun dalam ayat ini (dalam surat al-Baqoroh) ada penegasan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi telah diciptakan sebelum penciptaan langit, karena Alloh berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
“Dialah yang menciptakan bagi kalian segala sesuatu yang ada di bumi, kemudian Dia menuju (penciptaan) langit…” [QS. Al-Baqoroh: 29]
Dan sungguh aku telah berfikir dalam waktu yang panjang untuk mencari penyelesaian dari permasalahan ini sampai pada suatu hari Alloh memberikan petunjuk kepadaku sehingga aku memahaminya dari al-Qur’an yang agung.
Penjelasannya, bahwa musykilah (permasalahan) ini akan hilang dari dua sisi (jawaban) yang masing-masing ditunjukkan oleh ayat dalam al-Qur’an.
Sisi pertama, bahwa yang dimaksud dengan penciptaan segala sesuatu yang ada di bumi sebelum penciptaan langit adalah penciptaan dalam makna bahasa, yaitu taqdiir (penetapan, penentuan, perkiraan, pengukuran) bukan perbuatan mencipta yang bermakna menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Dan bangsa Arab kadang menyebutkan taqdiir (penentuan, perkiraan) dengan kata kholq (penciptaan), seperti perkataan Zuhair,
ولانت تفري ما خلقت وبعـ
ض القوم يخلق ثم لا يفرى
dan sungguh engkau memastikan apa yang telah engkau perkirakan
padahal sebagian orang memperkirakan namun tidak memastikan
Dalil yang menunjukkan bahwa makna penciptaan ini adalah taqdiir (penetapan, penentuan), Alloh telah menyatakan secara pasti atas hal tersebut dalam surat Fushshilat ketika Dia berfirman,
وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا
“Dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanannya.” [QS. Fushshilat: 10]
Kemudian Dia berfirman,
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
“kemudian Dia menuju (penciptaan) langit, sedangkan dia (langit) berupa asap.” [QS. Fushshilat: 11]
Sisi kedua, bahwa ketika Dia menciptakan bumi dengan tidak dibentangkan, sedangkan hal itu adalah sebagai pokok/dasar bagi segala sesuatu yang ada di bumi, maka seakan-akan Dia telah benar-benar menciptakannya karena pokok/dasarnya telah benar-benar ada. Dalil dari al-Qur’an yang menunjukkan bahwa dengan adanya pokok/dasar maka cabang (dalam hal ini segala sesuatu yang ada di bumi, seperti gunung, sungai, pohon dan lain-lain –pent) bisa dikatakan telah dicipta meskipun belum benar-benar ada, adalah firman Alloh,
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَة
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian, kemudian Kami katakan kepada para malaikat…” [QS. Al-A’roof: 11]
Maka firman-Nya ‘Kami ciptakan kalian kemudian Kami bentuk kalian,’ maksudnya adalah dengan penciptaan dan pembentukan bapak kalian Adam, dialah asal muasal kalian.
Sebagian ulama memadukannya dengan (menyatakan) bahwa firman Alloh, ‘Dan bumi setelah itu Dia bentangkan,’ maknanya adalah ‘bersamaan dengan itu.’ Maka lafadz بعد (setelah) memiliki makna مع (bersamaan), seperti dalam firman-Nya,
عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ
“yang kaku kasar, bersamaan dengan itu terkenal kejahatannya.” [QS. Al-Qolam: 13]
Dengan demikian, maka tidak ada musykilah lagi. Dan pendapat ini didengarkan (diambil) dari bacaan yang syaadz (menyelisihi yang lain, tidak dianggap) yang juga dibaca oleh Mujahid,
والأرض مع ذلك دحاها
” Dan bumi bersamaan dengan itu, Dia bentangkan.”
Sebagian ulama yang lain memadukannya dengan sisi-sisi pemaduan yang lemah, karena pendapat itu dibangun atas pendapat bahwa penciptaan langit sebelum penciptaan bumi, sedangkan pendapat itu menyelisihi tahqiiq (penelitian yang benar). Di antara sisi-sisi tersebut, bahwa ‘kemudian’ bermakna ‘dan’. Dan di antara sisi-sisi tersebut, bahwa kata ‘kemudian’ berfungsi untuk urutan penyebutan, seperti firman-Nya,
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا
“Dan dia termasuk golongan orang-orang yang beriman…” [QS. Al-Balad: 17]
Firman Alloh ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ
” kemudian Dia menuju (penciptaan) langit lalu menyempurnakannya menjadi tujuh lapis langit…” [QS. Al-Baqoroh: 29]
Di sini Alloh ta’ala menyebutkan kata langit dengan bentuk tunggal (السَّمَاءِ) dan dikembalikan kepadanya sebuah kata ganti dengan bentuk jamak pada firman-Nya فَسَوَّاهُنَّ (lalu menyempurnakannya). Dan untuk memadukan antara kata ganti jamak dengan penjelas kata ganti yang berbentuk tunggal, ada dua sisi (pemaduan).
Sisi pertama, bahwa yang dimaksud dari kata السَّمَاءِ adalah jenis langit yang dibenarkan penyebutannya dengan tujuh langit. Dengan demikian, maka alif laam dalam kata tersebut adalah alif laam jinsiyyah (yang berfungsi untuk menunjukkan jenisnya –pent).
Sisi kedua, bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ahli bahasa arab tentang adanya penyebutan kata tunggal dengan maksud jamak, baik disebutkan dengan ma’rifah, nakiroh atau dengan idhofah. Dan hal itu banyak di dalam al-Qur’an yang agung maupun perkataan orang-orang arab. Di antara contoh yang ada dalam al-Qur’an, sedangkan lafadznya dengan bentuk ma’rifah, adalah firman-Nya,
وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ
“Dan mereka beriman terhadap al-kitab seluruhnya.” [QS. Ali ‘Imron: 119]
Maksudnya beriman dengan seluruh kitab-kitab, dengan dalil firman-Nya ta’ala,
كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِه
“semuanya beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya.” [QS. Al-Baqoroh: 285]
وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ
“Dan katakanlah, aku beriman kepada apa saja yang Alloh turunkan berupa kitab.” [QS. Asy-Syuro: 15]
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan berpaling (mundur) ke belakang.” [QS. Al-Qomar: 45]
Yakni, bermakna adbaar (bentuk jamak dari dubur, belakang), sebagaimana hal itu nampak jelas.
Juga (sebagai contoh) firman Alloh ta’ala,
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ
“Mereka itu diberi balasan tempat yang tinggi.” [QS. Al-Furqoon: 75]
Yakni, ghurfah bermakna ghurof (bentuk jamak dari ghurfah, tempat yang tinggi), dengan dalil firman-Nya ta’ala,
لَهُمْ غُرَفٌ مِنْ فَوْقِهَا غُرَفٌ مَبْنِيَّةٌ
“Mereka mendapatkan tempat-tempat yang tinggi, diatasnya dibangun tempat-tempat yang tinggi.” [QS. Az-Zumar: 20]
وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ
“Dan mereka merasa aman di dalam tempat-tempat yang tinggi,” [QS. Saba: 37]
Juga (sebagai contoh) firman Alloh ta’ala,
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً
“Dan Robbmu datang, dan malaikat berbaris-baris.” [QS. Al-Fajr: 22]
Maksudnya para malaikat (bukan hanya satu malaikat –pent), dengan dalil firman-Nya,
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ
“tidaklah mereka menunggu melainkan kedatangan Alloh kepada mereka dalam naungan awan dan para malaikat.” [QS. Al-Baqoroh: 210]
Juga (sebagai contoh) firman Alloh ta’ala,
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا
“atau anak kecil yang belum mengerti…” [QS. An-Nuur: 31], yakni anak-anak kecil.
Juga (sebagai contoh) firman Alloh ta’ala,
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
“mereka adalah musuh, maka waspadailah mereka.” [QS. Al-Munafiquun: 4] yakni musuh-musuh.
Dan di antara contoh-contohnya sedangkan lafadznya dengan bentuk nakiroh, firman Alloh ta’ala,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa di dalam surga-surga dan sungai.” [QS. Al-Qomar: 54] yakni nahar bermakna anhaar (bentuk jamak dari nahar, sungai), dengan dalil firman-Nya,
فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ
“di dalamnya terdapat sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya…” [QS. Muhammad: 15]
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Furqoon: 74] yakni, sebagai imam-imam.
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِراً تَهْجُرُونَ
“dengan menyombongkan diri kalian terhadapnya (al-Qur’an), dan mengucapkan perkataan-perkataan keji ketika kamu begadang di waktu malam.” [QS. Al-Mu’minun: 67] yakni saamir bermakna saamiriin (bentuk jamak dari saamir, begadang di waktu malam).
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً
“kemudian Kami mengeluarkan kalian sebagai anak kecil.” [QS. Al-Hajj: 5] yakni sebagai anak-anak kecil.
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
“kami tidak membedakan antara seorang dari mereka.” [QS. Al-Baqoroh: 136] yakni antara mereka.
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقاً
“dan mereka adalah teman yang baik.” [QS. An-Nisaa: 69] yakni teman-teman.
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا
“dan jika kalian dalam keadaan junub, maka bersucilah.” [QS. Al-Maidah: 6] yakni, junub bermakna junubiin atau ajnaaba (bentuk jamak dari junub),
Dan (contoh lain) firman Alloh ta’ala,
وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
“Dan selain dari itu, para malaikat juga sebagai penolong.” [QS. At-Tahriim: 4] yakni zhohiruun (sebagai para penolong), karena rangkaian ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada bentuk jamak.
Dan Sibawaih untuk menunjukkan hal ini berdalil dengan firman-Nya,
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً
“Jika mereka (para istri) dengan senang hati menyerahkan (membebaskan) sebagian darinya (mas kawin) kepada kalian (para suami)…” [QS. An-Nisaa: 4] yakni dengan senang hati-hati mereka.
Dan di antara contoh-contohnya sedangkan lafadznya dengan bentuk idhofah, firman Alloh ta’ala,
إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيفِي
“Sesungguhnya mereka itu adalah tamuku.” [QS. Al-Hijr: 68] yakni tamu-tamuku.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
“Maka hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintahnya itu berwaspada…” [QS. An-Nuur: 63] yakni perintah-perintahnya.
Dan untuk menyebutkan lafadz mufrod (tunggal) namun bermaksud jamak, Sibawaih menyebutkan perkataan seorang penyair, yaitu Alqomah bin ‘Abadah At-Tamimi,
di sana ada bangkai binatang yang mati karena lemah, tulangnya
putih, sedangkan kulitnya, kering tidak disamak.
Yakni, adapun kulit-kulitnya, kering tidak disamak.
Dia juga menyebutkan perkataan penyair yang lain,
makanlah pada sebagian perut kalian (jangan sampai kenyang) niscaya kalian akan bisa menjaga kehormatan diri,
sesungguhnya zaman kalian adalah zaman kelaparan
Yakni, pada sebagian perut-perut kalian.
Dan di antara syawahid-nya adalah perkataan ‘Aqiil bin ‘Ullafah al-Murry,
dan bani fazaaroh adalah seburuk-buruk paman
dan aku bagi mereka bagaikan seburuk-buruk keponakan
Yakni, seburuk-buruk paman-paman.
Dan perkataan al-‘Abbas bin Mirdas as-Sulami,
maka kami katakan, islamlah kalian, kami adalah saudara kalian
dan sungguh dada-dada ini telah selamat dari kedengkian
Yakni, kami adalah saudara-saudara kalian.
Penyair lain berkata,
wahai para wanita yang mencelaku, janganlah kalian berkeinginan untuk mencelaku,
sesungguhnya, para wanita pencela bukanlah pemimpin bagiku
Yakni, mereka bukanlah para pemimpin bagiku
Dan ini berlaku secara umum pada na’at yang berupa mashdar, seperti perkataan Zuhair,
jikalau berselisih suatu kaum yang kurang kemuliaan mereka…
di antara kami, maka mereka adalah kaum yang diridho dan adil
Dan karena memperhatikan hal ini, di dalam al-Qur’an tidak di-jamak-kan kata as-sam’ (pendengaran), ath-thorf (pandangan, mata) dan adh-dhoyf (tamu) karena asalnya adalah mashdar. Seperti firman Alloh ta’ala,
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ
“Alloh menutup hati-hati mereka dan pendengaran mereka…” [QS. Al-Baqoroh: 7]
لا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء
“sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” [QS. Ibrohim: 43]
يَنْظُرُونَ مِنْ طَرْفٍ خَفِيٍّ
“Mereka melihat dengan pandangan yang lesu.” [QS. Asy-Syuro: 45]
إِنَّ هَؤُلاءِ ضَيفِي
“Sesungguhnya mereka adalah tamuku.” [QS. Al-Hijr: 68]
Insyaa Alloh bersambung ke bagian 4