دَفْعُ إِيْهَامِ الاِضْطِرَابِ عَنْ آيَةِ الْكِتَابِ
تأليف
الشيخ محمد الأمين بن محمد بن المختار الشنقيطي – رحمه الله
MENOLAK ANGGAPAN KONTRADIKSI AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Bagian 1
(Surat al-Baqoroh ayat 2)
Karya
Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad bin al-Mukhtar asy-Syinqithiy – rohimahulloh
PENDAHULUAN
الحمد لله رب العلمين والصلاة والسلام على نبينا محمد خاتم النبيين وأشرف المرسلين وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.
Segala puji bagi Alloh yang telah menutup para rosul dengan Nabi yang mulia, semoga beliau mendapatkan sholawat dan salam dari Alloh. Sebagaimana Dia telah menutup kitab-kitab langit dengan al-Qur’an yang agung. Dia memberi petunjuk kepada manusia dengan ayat-ayat dan peringatan penuh hikmah yang ada di dalamnya. Telah sempurna kalimat Robbmu dengan benar dan adil, tidak ada yang merubah kalimat-kalimat-Nya, dan Dia maha mendengar dan maha mengetahui. Maka seluruh berita-berita-Nya adalah benar, seluruh hukum-hukum-Nya adalah adil, sebagiannya mempersaksikan dan membenarkan yang lain, tidak menyelisihinya. Karena ayat-ayat-Nya diperinci dari sisi (Alloh) yang maha bijaksana dan maha mengetahui.
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Kenapa mereka tidak memperhatikan al-Qur’an. Seandainya (al-Qur’an) itu bukan dari sisi Alloh tentu mereka akan mendapati perselisihan yang banyak.” [QS. An-Nisaa: 82]
Amma ba’du, sesungguhnya penulis kata-kata ini – semoga Alloh menyelamatkannya – ingin menjelaskan dalam risalah ini, apa yang mudah dari berbagai sisi perpaduan antara ayat-ayat yang di anggap terdapat pertentangan padanya di dalam al-Qur’an yang agung. Dengan mengurutkannya sesuai urutan surat, dengan menyebutkan perpaduan antara kedua ayat pada tempat (penyebutan) ayat yang pertama. Terkadang disebutkan perpaduannya pada tempat (penyebutan) ayat yang terakhir, dan kadang mencukupkan dengan menyebutkan perpaduannya pada ayat yang pertama, dan kadang mengalihkan kepadanya pada penyebutan ayat terakhir, terlebih-lebih jika dalam surat tersebut tidak ada yang dianggap bertentangan melainkan ayat itu saja maka tidak ditinggalkan penyebutannya maupun pemalingan kepada perpaduan yang telah disebutkan sebelumnya. Dan aku menamakannya,
((دفع إيهام الإضطراب عن آية الكتاب))
“MENOLAK ANGGAPAN KONTRADIKSI AYAT-AYAT AL-QUR’AN”
Hanya kepada Alloh kami memohon pertolongan, Dialah yang mencukupi kami dan sebaik-baik Dzat yang diserahi segala urusan, dengan mengharap kepada Alloh agar menjadikan niat kami niat yang baik dan menjadikan seluruh amalan kami amalan yang murni karena wajah-Nya yang maha mulia, sesungguhnya Dia maha dekat, maha mengabulkan dan maha penyayang, maka kami katakan,
SURAT AL-BAQOROH (ayat 2)
Firman Alloh ta’ala,
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“alif laam miim. Kitab itu tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Baqoroh: 1-2]
Dalam ayat ini, Alloh ta’ala menunjuk kepada al-Qur’an dengan kata petunjuk jauh. Sedangkan pada ayat yang lain Dia menunjuk kepada al-Qur’an dengan kata petunjuk dekat, seperti dalam firman-Nya,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” [QS. Al-Isroo: 9]
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَقُصُّ عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Sesungguhnya al-Qur’an ini menjelaskan kepada Bani Isroil…” [QS. An-Naml: 76]
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan.” [QS. Al-An’aam: 92]
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآَنَ
“Kami kisahkan kepadamu suatu kisah yang paling bagus, dengan mewahyukan kepadamu al-Qur’an ini.” [QS. Yusuf: 3]
Dan ayat-ayat yang lainnya. Adapun pemaduan antara ayat-ayat ini ada beberapa sisi:
Pertama: Apa yang telah ditetapkan oleh sebagian ulama balaghoh, bahwa sisi penunjukan kepada al-Qur’an dengan penunjukan yang dekat atau hadir adalah bahwa al-Qur’an ini dekat dan hadir pada pendengaran-pendengaran, lisan-lisan dan hati-hati manusia. Sedangkan sisi penunjukannya dengan penunjukan yang jauh adalah jauhnya kedudukan dan tingkatannya dari penyerupaan terhadap perkataan makhluk dan dari persangkaan kaum kafir bahwa al-Qur’an adalah sihir, syair, mantra dukun atau dongeng orang-orang terdahulu.
Kedua: Apa yang telah dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thobari dalam tafsirnya, bahwa penunjukan tersebut adalah kepada kandungan kalimat alif laam miim. Dan hal itu adalah dengan bentuk penunjukan yang jauh, karena perkataan yang ditunjukkan kepadanya telah selesai, namun pada hakikatnya maknanya adalah dekat, karena baru saja selesai. Beliau memberikan contoh dengan seseorang yang berkata kepada orang lain, sekali waktu dia berkata, ‘Demi Alloh, sungguh hal itu sebagaimana yang aku katakan,’ dan lain waktu dia berkata, ‘Demi Alloh, sungguh hal ini sebagaimana yang aku katakan.’ Maka penunjukan yang jauh digunakan karena perkataan (yang ditunjukkan) telah berakhir, dan (memberi makna) penunjukan yang dekat karena perkataan tersebut baru saja berakhir.
Ketiga : Bahwa orang Arab kadang memberi isyarat (penunjukan) kepada sesuatu yang dekat dengan penunjukan yang jauh. Maka ayat ini sesuai dengan uslub gaya bahasa Arab. Dan contoh yang semisal ini adalah perkataan Khufaaf bin Nudbah as-Sulami ketika Malik bin Harmalah al-Fazari terbunuh,
jika kuda perangku telah ternodai kesuciannya,
maka dengan kesungguhan dan yakin aku akan menuju Malik,
akan kukatakan padanya, sedangkan tombak membelokkan punggungnya,
perhatikanlah Khufaaf sesungguhnya aku adalah itu.
Maksudnya, aku adalah ini. Dan perkataan yang akhir ini dihikayatkan oleh al-Bukori dari Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah, hal ini dikatakan oleh Ibnu Katsir. Bagaimanapun juga, (kesimpulannya) bahwa seluruh ahli tafsir berpendapat bahwa firman Alloh, ‘Kitab itu,’ bermakna ‘Kitab ini.’
Firman Alloh ta’ala,
لاَ رَيْبَ فِيهِ
“Tidak ada keraguan padanya,” [QS. Al-Baqoroh: 2]
Kata ini (رَيْبَ) adalah nakiroh yang disebutkan dalam konteks kalimat negatif, kata ini disusun dengan kata (لا) sehingga di-mabni-kan dengan harokat fathah. Dan kata nakiroh jika seperti ini maka menunjukkan kepada keumuman secara pasti, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul. Dan kata (لا) yang menunjukkan kepada keumuman secara pasti, dikenal oleh ahli nahwu dengan laa nafiyah liljinsi (untuk meniadakan suatu jenis). Adapun (لا) yang beramalan seperti (ليس) maka hanya menunjukkan keumuman secara zhohir-nya saja tidak secara pasti. Berdasarkan hal ini, maka ayat ini menunjukkan secara pasti ditiadakannya segala jenis keraguan terhadap al-Qur’an yang agung ini. Namun pada ayat-ayat yang lain ada yang menunjukkan adanya keraguan terhadap al-Qur’an bagi sebagian manusia, seperti orang-orang kafir yang ragu. Misalnya, firman Alloh ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
“Dan jika kalian berada dalam keraguan terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami,” [QS. Al-Baqoroh: 23]
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Dan hati-hati mereka ragu, maka mereka pun bimbang dalam keraguan mereka.” [QS. At-Taubah: 45]
بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ يَلْعَبُونَ
“Tetapi mereka bermain-main di dalam keraguan.” [QS. Ad-Dukhon: 9]
Cara memadukannya, bahwa al-Qur’an, karena kejelasan dalil-dalilnya dan kekuatan mukjizatnya mampu menghilangkan segala jenis keraguan yang berusaha masuk kepadanya. Sedangkan keraguan orang-orang kafir terhadapnya hanyalah karena pandangan mereka yang buta, sebagaimana dijelaskan oleh firman Alloh ta’ala,
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
“Apakah sama antara orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu adalah kebenaran, dengan orang yang buta,” [QS. Ar-Ro’du: 19]
Maka Alloh menegaskan bahwa orang yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an itu benar, maka hal itu hanyalah datang dari kebutaannya saja. Dan telah kita ketahui bahwa ketidakmampuan orang buta untuk melihat matahari tidak bisa menolak keberadaan matahari yang tidak bisa diragukan karena nampaknya.
jika seseorang tidak punya mata yang sehat,
maka tidaklah aneh jika dia ragu, padahal subuh telah terang.
Dan sebagian ulama menjawab, bahwa firman Alloh ‘Tidak ada keraguan padanya,’ adalah khobar (bentuk kalimat yang dzat perkataan tersebut bisa disifati dengan benar atau salah -pent) yang bermaksud insyaa’ (bentuk kalimat yang tidak bisa disifati dengan benar atau salah, seperti perintah dan larangan-pent), sehingga maknanya, ‘janganlah kalian ragu terhadapnya.’ Dengan demikian maka tidak ada musykilah.
Firman Alloh ta’ala,
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
” sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Baqoroh: 2]
Di sini Alloh mengkhususkan petunjuk al-Kitab untuk orang-orang yang bertakwa. Namun dalam ayat-ayat yang lain ada yang menunjukkan bahwa petunjuknya itu umum untuk seluruh manusia. Yaitu firman Alloh ta’ala,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ
“Bulan Romadhon yang padanya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.” [QS. Al-Baqoroh: 185]
Sisi perpaduan antara keduanya, bahwa huda (petunjuk) di dalam al-Qur’an digunakan dengan dua bentuk penggunaan, umum dan khusus.
Adapun huda ‘aam (petunjuk yang umum), maka maknanya adalah menjelaskan dan menerangkan jalan kebenaran dan intinya, sama saja apakah orang yang diterangkan itu mau menempuhnya atau tidak. Firman-Nya yang memiliki makna seperti ini, di antaranya,
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ
“Adapun kaum Tsamud, maka Kami beri petunjuk kepada mereka.” [QS. Fushshilat: 17]
Maksudnya, kami jelaskan kepada mereka jalan kebenaran, melalui lisan nabi Kami, Sholih – semoga sholawat dan salam tercurah kepadanya dan kepada nabi kita Muhammad – padahal mereka tidak menempuh jalan tersebut, berdasarkan firman-Nya,
فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
“Lalu mereka lebih menyukai kebutaan dari pada petunjuk.” [QS. Fushshilat: 17]
Dan di antaranya, firman Alloh,
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ
“Sesungguhnya Kami menunjuki dia kepada suatu jalan.” [QS. Al-Insaan: 3]
Maksudnya, telah Kami jelaskan kepadanya jalan kebenaran dan jalan keburukan, dengan dalil firman-Nya,
إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Bisa jadi dia menjadi orang yang bersyukur atau menjadi orang yang kafir.” [QS. Al-Insaan: 3]
Adapun huda khoosh (petunjuk yang khusus), adalah karunia Alloh untuk memberikan taufiq kepada seorang hamba. Firman-Nya yang memiliki makna ini, di antaranya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ
“Merekalah orang-orang yang telah Alloh beri petunjuk.” [QS. Al-An’aam: 90]
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِْلإِسْلاَمِ
“Maka orang yang hendak Alloh beri petunjuk kepadanya, Alloh lapangkan dadanya untuk (menerima) islam.” [QS. Al-An’aam: 125]
Jika engkau telah mengetahui hal itu maka ketahuilah, bahwa petunjuk yang khusus untuk orang-orang bertakwa adalah huda khoosh, yaitu anugerah Alloh untuk memberikan taufik kepada mereka. Sedangkan petunjuk yang umum kepada seluruh manusia adalah huda ‘aam, yaitu penjelasan dan penerangan jalan kebenaran dan intinya. Dengan ini maka hilanglah musykilah.
Begitu juga antara firman Alloh ta’ala,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau tidak akan memberi petunjuk orang yang engkau cintai.” [QS. Al-Qoshosh: 56]
Dengan firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” [QS. Asy-Syuura: 52]
Petunjuk yang tidak bisa diberikan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah petunjuk yang khusus. Karena taufik hanyalah berada di tangan Alloh semata, barangsiapa yang Alloh menghendaki kesesatannya maka engkau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk (menolong)nya dari Alloh. Sedangkan petunjuk yang bisa diberikan oleh beliau adalah petunjuk yang umum, yaitu menjelaskan jalan yang benar. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya sehingga meninggalkannya sebagai jalan yang putih murni, malamnya seperti siangnya. Dan Alloh menyeru kepada negeri keselamatan, memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki menuju negeri keselamatan dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.
Insyaa Alloh bersambung ke bagian berikutnya