Fiqih, Hadits

SHOLAT DI ATAS PAPAN

بسم الله الرحمن الرحيم

SHOLAT DI ATAS PAPAN

Hadits Ibnu Umar radhiyallohu anhuma,
عاد رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا من أصحابه مريضا ، و أنا معه ، فدخل عليه ، و هو يصلي على عود ، فوضع جبهته على العود ، فأومأ إليه فطرح العود ، و أخذ وسادة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعها عنك ـ يعني الوسادة ـ إن استطعت أن تسجد على الأرض و إلا فأوم إيماء و اجعل سجودك أخفض من ركوعك
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjenguk seorang sahabatnya yang sakit, dan aku bersama beliau. Lalu beliau masuk menemuinya yang dalam keadaan sholat dengan sebatang kayu, dia meletakkan dahinya pada batang kayu itu, maka beliau mengisyaratkan kepadanya lalu membuang batang kayu itu. Dan dia mengambil bantal, lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhkan bantal itu darimu, jika kamu mampu sujud di atas tanah (maka lakukanlah). Jika tidak maka berilah isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dalam Al-Mu’jamul Kabir (3/189/2) sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah Juz I hal 640-642 hadits no 323. Setelah menjelaskan sanad hadits tersebut beliau mengatakan,
نعم للحديث طريق أخرى عن ابن عمر يتقوى به ، يرويه سريج بن يونس حدثنا قران بن تمام عن عبيد الله بن عمر عن نافع عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” من استطاع منكم أن يسجد فليسجد ، و من لم يستطع ، فلا يرفع إلى جبهته شيئا يسجد عليه ، و لكن بركوعه و سجوده يوميء برأسه ” . أخرجه الطبراني في ” الأوسط ” ( 1 / 43 / 1 – من زوائده )
“Ya, hadits ini memiliki jalan lain dari Ibnu Umar yang menjadikannya kuat. Diriwayatkan oleh Suraij bin Yunus (dia mengatakan) menceritakan kepada kami Qurron bin Tamam dari Ubaidulloh bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian mampu sujud maka sujudlah. Barangsiapa tidak mampu, maka janganlah dia mengangkat ke dahinya sesuatu yang dia gunakan untuk sujud. Akan tetapi untuk ruku’ dan sujudnya dia memberi isyarat dengan kepalanya.” Dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dalam Al-Ausath (1/43/1- dari zawaidnya)”

Kemudian beliau (al-Albani) juga mengatakan,
“Dan hadits ini memiliki syahid dari hadits Jabir semisal dengan hadits Ibnu Umar yang pertama. Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Zubair dari Jabir.”
Lalu beliau memberi keterangan tentang sanad hadits Jabir ini dan kemudian berkata,
“Dan yang tidak diragukan lagi bahwa hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah hadits yang shohih. Dan hanyalah Alloh ta’ala yang memberi taufik.”

Hadits Jabir yang dimaksud oleh syaikh al-Albani ini dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani dalam Bulughul Marom hadits nomor 310.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمَرِيضٍ – صَلَّى عَلَى وِسَادَةٍ ، فَرَمَى بِهَا – وَقَالَ : صَلِّ عَلَى الْأَرْضِ إنْ اسْتَطَعْت ، وَإِلَّا فَأَوْمِ إيمَاءً ، وَاجْعَلْ سُجُودَك أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِك }
Dan dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang yang sakit – yang ketika itu sholat dengan bantal, lalu beliau membuang bantal tersebut – dan berkata, “Sholatlah di atas tanah jika mampu. Jika tidak, maka berilah isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”

Dalam Subulus Salam syarh Bulughul Marom, ketika menjelaskan hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhu, Ash-Shon’ani mengatakan,
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَّخِذُ الْمَرِيضُ مَا يَسْجُدُ عَلَيْهِ حَيْثُ تَعَذَّرَ سُجُودُهُ عَلَى الْأَرْضِ ، وَقَدْ أَرْشَدَهُ إلَى أَنَّهُ يَفْصِلُ بَيْنَ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ ، وَيَجْعَلُ سُجُودَهُ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِهِ فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الْقِيَامُ وَالرُّكُوعُ فَإِنَّهُ يُومِئُ مِنْ قُعُودٍ لَهُمَا جَاعِلاً الْإِيمَاءَ بِالسُّجُودِ أَخْفَضَ مِنْ الرُّكُوعِ …
“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang yang sakit tidaklah menjadikan sesuatu benda yang dia gunakan untuk sujud ketika dia tidak mampu sujud di atas tanah. Dan beliau (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) membimbingnya agar membedakan antara ruku’ dan sujudnya, dan menjadikan sujud lebih rendah dari pada ruku’nya. Jika dia tidak mampu berdiri dan ruku’ maka dia dengan duduk dia mengisyaratkan keduanya, yaitu dengan menjadika isyarat untuk sujud lebih rendah dari isyarat untuk ruku’ …”

Inilah pemahaman yang bisa kita ambil dari hadits Ibnu umar rodhiyallohu ‘anhuma di atas. Yakni, kita dilarang menjadikan suatu benda baik berupa bantal, batang kayu atau yang lain untuk diletakkan pada dahi kita ketika kita tidak mampu sujud dengan meletakkan dahi kita di atas tanah.

Dan Al-Lajnah Daimah ketika ditanya oleh seorang yang memiliki udzur tidak bisa sujud di atas tanah juga menjawab demikian berdalil dengan hadits Jabir di atas.
Fatwa nomor 3956:
Pertanyaan:
“Aku seorang pria yang pernah terkena suatu penyakit di mataku. Dan aku telah mengalami operasi. Hal ini, semenjak satu tahun yang lalu sampai sekarang aku masih merasakan sakit disebabkan karena kelelahan yang sangat ketika aku sholat, yaitu ketika sujud. Aku tidak mampu sujud di atas tanah kecuali jika ada bantal atau yang lain sehingga aku bisa meninggikan kepalaku dari tulang punggung. Apakah hal ini dibolehkan, yaitu meletakkan bantal atau yang lain ketika aku sujud? Berikanlah faidah, semoga Alloh membalas anda dengan sebaik-baik balasan.
Jawaban:
Jika kenyataannya sebagaimana yang anda sebutkan, maka tidak mengapa bagi anda untuk tidak sujud (yakni di atas tanah-pen). Dan tidak ada tuntutan untuk meletakkan bantal atau semacamnya untuk digunakan sujud, karena hal itu tidak dibolehkan. Kewajiban seorang muslim adalah sholat sesuai dengan keadaannya. Jabir rodhiyallohu ‘anhu telah meriwayatkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang yang sakit – yang ketika itu sholat dengan bantal, lalu beliau membuang bantal tersebut – dan berkata, “Sholatlah di atas tanah jika mampu. Jika tidak, maka berilah isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”(1) Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat, namun Abu Hatim menshohihkan mauqufnya hadits ini.
Wabillahit taufiq wa shollallohu ‘ala Nabiyyina Muhamad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz
Wakil ketua : Abdur Rozzaq Afifi
Anggota : Abdulloh bin Ghodayan
Anggota : Abdulloh bin Qu’ud

(1) Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (2/306), Al-Bazzar (1/274) nomor (568 Kasyful Astar), Abu Ya’la (3/345 nomor 1811) dan lihat Majma’ Zawaid (2/148).

MASALAH:
Sholat di atas papan kayu, tikar, kain atau lainnya tidak langsung pada lantai.

Adapun sholat diatas kain, tikar, karpet, papan kayu atau yang lain (tidak langsung menempel tanah atau lantai) maka hal ini dibolehkan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنْ الْأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, “Dahulu kami sholat bersama Rosululloh dalam keadaan yang sangat panas. Jika salah seorang di antara kami tidak mampu menekankan dahinya ke tanah, dia membentangkan bajunya sehingga dia sujud padanya.” [Riwayat Muslim nomor 983]

Imam Bukhori membuat beberapa bab yang berurutan dalam kitab shohihnya “Sholat di atas hashir (tikar)”, “Sholat di atas khumroh” dan “Sholat di atas tempat tidur.”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Dari Anas bin Malik, bahwa neneknya, Mulaikah, mengundang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk makan makanan yang telah dibuatnya untuk beliau. Beliau pun makan kemudian bersabda, “Bangkitlah kalian, aku akan sholat mengimami kalian.” Anas berkata, lalu aku pun bangkit untuk mengambil hashir (tikar) milik kami yang telah menghitam karena lama dipakai. Aku membersihkannya dengan air. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan aku berbaris bersama seorang anak yatim di belakang beliau, sedangkan si nenek berada di belakang kami. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengimami kami dua rokaat kemudian berpaling. [Riwayat Bukhori bab “Sholat di atas hashir (tikar)”, (367)]
Dari Maimunah rodhiyallohu ‘anha dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى الْخُمْرَةِ
“Dahulu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di atas khumroh.” [Riwayat Bukhori bab “Sholat di atas khumroh” nomor 368]
Dan khumroh adalah tikar atau anyaman daun kurma atau sejenisnya yang seukuran dengan alas hamparan wajah seseorang ketika sujud. [lihat An-Nihayah fii Ghoribil Hadits karya Ibnu Atsir, dinukil dari Shifat Sholat Nabi karya Syaikh al-Albani]

Imam Bukhori berkata, “Bab sholat di atas tempat tidur. Dan Anas sholat di atas tempat tidurnya.” Kemudian beliau membawakan beberapa hadits, di antaranya,
عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ
Dari Urwah, bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah sholat sedangkan dia (Aisyah) berada di antara beliau dan kiblat di atas tempat tidur keluarganya melintang sebagaimana jenazah. [Riwayat Bukhori (370)]
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ
Dari Urwah, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah sholat sedangkan Aisyah melintang di antara beliau dan kiblat di atas tempat tidur mereka berdua. [Riwayat Bukhori (371)]

Imam Bukhori juga membuat bab dengan judul “Sholat di atas atap, mimbar dan kayu.”
Kemudian Ibnu Hajar mengomentarinya dengan berkata, “Dengan bab itu beliau mengisyaratkan kepada bolehnya. Adapun yang diperselisihkan oleh sebagian tabi’in dan pengikut madzhab malikiyah adalah tempat yang tinggi bagi seorang yang menjadi imam.” [Lihat Fathul Bari Kitab ash-Sholat bab ash-Sholat fis Suthuh wal Minbar wal Khosyab]
Dalam menjelaskan hadits Sahl bin Sa’d tentang sholatnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar (yang akan datang lafadznya pada masalah berikutnya), Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits ini terdapat kebolehan sholat di atas kayu. Namun hal itu dibenci oleh al-Hasan dan Ibnu Sirin, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari keduanya. Beliau juga mengeluarkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar semisal dengan itu. Dan dari Masruq, bahwa dia dahulu jika naik perahu membawa batu bata untuk dijadikan tempat sujud, dan semisal ini pula dari Ibnu Sirin. Namun yang dianggap adalah pendapat yang mengatakan bolehnya.” [Lihat Fathul Bari Kitab ash-Sholat bab ash-Sholat fis Suthuh wal Minbar wal Khosyab]

Perhatian! Apa yang ditulis dalam masalah ini bukanlah sebagai argumen untuk membolehkan penggunaan sajjadah yang banyak digunakan oleh kaum muslimin. Karena dalam hal ini banyak perkara yang harus ditinjau kembali secara syar’i seperti adanya gambar-gambar yang mengganggu kekhusyu’an dan pengkhususan setiap orang dengan satu sajjadah sehingga bisa memutus atau merenggangkan shof. Namun bukan di sini penjelasannya.

MASALAH:
Imam lebih tinggi dari Ma’mum

حديث سهل بن سعد : وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي [رواه البخاري (رقم 364) ومسلم (رقم 847) واللفظ له]
Hadits Sahl bin Sa’d rodhiyallohu ‘anhu,
Dan sungguh aku telah melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berdiri di atasnya lalu beliau bertakbir dan orang-orang pun bertakbir di belakang beliau sedangkan beliau berada di atas mimbar. Kemudian beliau mengangkat kepala (yakni dari ruku’-pen) lalu mundur ke belakang sehingga beliau sujud di dasar mimbar. Kemudian beliau mengulanginya sampai selesai dari akhir sholatnya. Kemudian beliau menghadap manusia lalu bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kalian mengikuti aku dan agar kalian memelajari tata cara sholatku.” [Riwayat Bukhori (364) dan Muslim (847) dan lafadz ini milik beliau]
قال النووي : وَفِيهِ : جَوَاز صَلَاة الْإِمَام عَلَى مَوْضِع أَعْلَى مِنْ مَوْضِع الْمَأْمُومِينَ ، وَلَكِنَّهُ يُكْرَه اِرْتِفَاع الْإِمَام عَلَى الْمَأْمُوم ، وَارْتِفَاع الْمَأْمُوم عَلَى الْإِمَام لِغَيْرِ حَاجَة ، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ بِأَنْ أَرَادَ تَعْلِيمهمْ أَفْعَال الصَّلَاة لَمْ يُكْرَه ، بَلْ يُسْتَحَبّ لِهَذَا الْحَدِيث ، وَكَذَا إِنْ أَرَادَ الْمَأْمُوم إِعْلَام الْمَأْمُومِينَ بِصَلَاةِ الْإِمَام وَاحْتَاجَ إِلَى الِارْتِفَاع
Imam Nawawi berkata, “Dalam dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya sholat seorang imam di atas suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat sholat ma’mum. Akan tetapi dibenci lebih tingginya (tempat) imam dari ma’mumnya dan sebaliknya tanpa hajat. Jika karena suatu hajat, yaitu untuk mengajarkan mereka tata cara sholat, maka tidak dibenci bahkan disukai berdasarkan hadits ini. Begitu pula jika seorang ma’mum berniat memberi tahu ma’mum yang lain tentang sholatnya imam dan membutuhkan tempat yang tinggi.” [Syarh Shohih Muslim karya An-Nawawi, Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ish Sholat, bab Jawaazul Khuthwah wal Khuthwataini fish Sholat]

17 ربيع ثان 1428 هـ

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s